Thursday, 2 June 2016

The Right Time For "Us"


Sepulangnya aku dan suami dari meet up dengan teman lama saya, sembari berjalan menuju Central Station, suami berkata, "sometimes I feel ashamed when people asked how long have you been waiting for a kid." Hmmm... sebetulnya kita tidak menunggu lama, hanya saja kami menunda - for four years. Sejak kami (atau lebih tepatnya saya) memutuskan untuk akhirnya it's time for us to try, alhamdulillah kami tidak menunggu lama. Aku pikir wajar saja suami merasa seperti itu, karena terkadang anak adalah kebanggaan tersendiri bagi seorang laki-laki.

***

Sebelum menikah aku sudah merencanakan berapa anak yang aku ingin punya, berapa tahun jeda antara satu anak dengan yang lain, di umur berapa aku ingin berhenti memiliki anak, dan di umur berapa aku harus menikah untuk menjalankan rencanaku itu. Hitung-hitungan ala pelajaran biologi pun aku lakukan. Oke, aku ingin punya tiga anak (cukup untuk mobil sedan, karena ketika punya empat anak otomatis harus upgrade ke 7-seaters, hehe), jeda 2 tahun antar anak, dan selesai melahirkan anak terakhir ketika umurku 30 tahun. Jadi, setelah dilakukan kalkulasi, maka aku harus menikah di umur 24 tahun, dan punya anak pertama ketika aku 25 tahun. Milestone yang pertama sudah sesuai rencana - aku menikah 1-2 bulan sebelum ulang tahunku ke 24. Namun, milestone-milestone selanjutnya jauh meleset dari perencanaan.

***

Awalnya kami menunda karena aku berkata kepada suami, "Masih pingin berdua dulu." Honeymoon dulu lah istilahnya, hehehe. Karena jarak antara kami berkenalan dan kemudian memutuskan untuk menikah tidaklah lama, hanya satu bulan (tetapi resepsi dilangsungkan kira-kira 9 bulan kemudian). Alhamdulillah suami mengerti dan mengizinkan. 

Lalu setelah satu tahun tinggal bersama setelah menikah, aku mulai bosan dan stress karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan di Australia. Dan waktu itu aku baru mengetahui bahwa cuti melahirkan di Australia bisa sampai satu tahun, tidak hanya tiga bulan seperti di Indonesia. Tapi kemudian aku baru mengetahui baru-baru ini ternyata aku salah pengertian, rupanya cuti satu tahun itu tidak dibayar (tergantung perusahaan juga sih). Aku berkata kepada suami, "Nanti aku bisa cuti satu tahun ketika punya anak! Lumayan kan dibayar 12 bulan gaji (nah ini dia bagian salah kaprahnya, hihihihi)." Alhamdulillah suami mengerti, mengizinkan, dan bahkan memberi dorongan semangat supaya aku bisa mendapatkan pekerjaan.

Lalu setelah aku mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan kontrak, alhamdulillah gajiku selama masa kontrak itu cukup untuk dua orang naik haji. Jadilah aku menawarkan kepada suami apakah dia mau pergi naik haji. Tentu jawabannya mau dong, hehehe. Kemudian kami menunda lagi supaya kami bisa naik haji berdua. Alhamdulillah suami mengerti, mengizinkan, dan Allah pun mengizinkan kami untuk naik haji bersama.

Lalu setelah naik haji, kami memiliki keinginan untuk punya rumah. Di Australia, owning a house is part of the Great Australian Dream. Dan seperti kata orang tua Indonesia pada umumnya, "Nabung lah untuk punya rumah. Kan nggak enak ngontrak terus. Buang-buang uang buat bayarin cicilannya orang lain". Betul juga sih. Ketika kami sedang mencari rumah, kami juga harus menyiapkan dokumen kesiapan pinjaman finansial supaya ketika kami menemukan rumah yang cocok, tidak perlu lama untuk mengurus pinjamannya. Di dalam dokumen tersebut tertera berapa jumlah uang yang boleh kami pinjam setelah diperhitungkan ukuran family size dan pengeluaran-pengeluaran bulanan. Ternyata, ketika ada tambahan tanggungan orang di dalam keluarga (dependents) maka otomatis kemampuan meminjam kita juga akan turun dan bank (atau institusi peminjaman) akan menurukan jumlah uang yang bisa kita pinjam. Aku berkata kepada suami, "Nunggu dulu yuk sampai kita dapat rumah." Alhamdulillah suami mengerti dan mengizinkan.

Lalu setelah mendapatkan rumah, aku mulai berpikir, setelah ini apa lagi ya? Mungkin "anak" adalah jawaban yang paling masuk akal karena ibuku dan mama mertua sudah me-rong-rong minta cucu. Dan ketakutanku untuk menjadi ibu pun muncul kembali. Kalau kemarin-kemarin aku selalu punya alasan untuk menunda, tapi kali ini? Mau bilang, "Nanti ya pas aku udah umur 30? Toh bos-bos ku rata-rata baru punya anak ketika umur 30" atau "Nanti ya pas aku sudah jadi manajer." Hahahaha, minta di-pitesss. Tapi jadi manajer pun nggak ada yang tahu akan membutuhkan waktu berapa lama. 

Jadi, sebetulnya selama ini aku merasa masih terlalu bocah untuk jadi ibu, masih merasa nggak cukup dewasa, masih pingin main-main, dan takut karirku akan mandek. Tapi di lain pihak aku tahu bahwa I'm being unfair to my husband. Dia sudah berbaik hati mengiyakan kemauanku selama bertahun-tahun dan umur dia pun nggak akan akan pernah berkurang (he's getting too old, I know!). Jadi, dengan banyak bismillah dan banyak memohon kepada Allah supaya diberi kemudahan (kemudahan mengurus anak dan keluarga, kemudahan rejeki, kemudahan karir, etc), akhirnya aku memutuskan OK now it's the time. Ready or not, I have to be.

In the end, should I (or we) feel sorry? Not really - or rather I think we shouldn't be. Kemudian aku mengingatkan pada suami bahwa memang kita turut "mengatur" dengan sengaja menunda punya anak, tapi syukuri saja lah apa yang sudah terjadi, toh alhamdulillah kehidupan kita juga cukup berwarna walaupun belum ada anak dan banyak pula kesempatan-kesempatan yang mungkin tidak bisa didapatkan (atau tertunda) setelah memiliki anak - dari aku mendapatkan kerja, kami menunaikan ibadah haji, dan akhirnya berhasil leasing rumah tahun lalu. Alhamdulillah Allah Maha Baik, aku berdoa kepada Allah saat menunaikan haji untuk diberikan anak di saat yang tepat. Mungkin inilah saat yang tepat untuk kami karena kalau Allah bilang sekarang bukan saat yang tepat mungkin aku akan kesulitan untuk conceive

***

So, a child is indeed a gift from God karena belum tentu semua orang bisa punya anak. Aku betul-betul bersyukur karena walaupun sempat menunda alhamdulillah Allah berikan kemudahan. Banyak orang yang nggak segan-segan menempuh jalan berliku melalui IVF dan mengeluarkan uang ratusan juta hanya untuk memiliki anak. Jadi inget adik bayi di perut - semoga adik bayi sehat terus sampai lahiran :) , aamiin.
Be First to Post Comment !
Post a Comment